Kamis, 19 Februari 2015

Makalah FIQH I Tentang TAYAMUM


TAYAMUM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
FIQH 1
Dosen Pembimbing  : H. Ubaidillah, S.HI




Disususn Oleh :
1.      Tuti Rosita
2.      M.Wildan
3.      Nurul Kamilah
4.      Odi Syaputra

Semester I
Program Strata 1 Jurusan Tarbiyah
Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-KARIMIYAH
(STAISKA)
Sawangan – Depok
Tahun 2014



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena atas  rahmat dan karunia-Nya kami  dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW  beserta keluarganya, para shahabatnya, serta kita semua para penganut ajarannya hingga akhir zaman.
Makalah yang berjudul TAYAMUM ini, kami susun dan kami ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah FIQH 1 dalam jurusan tarbiyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Karimiyah yang saat ini kami jalani.
Makalah ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan thaharah dalam hal ini tayamum, termasuk tata cara, beserta dalilnya dan lain sebagainya. Semoga makalah  ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, baik itu dosen pembimbing selaku penilai makalah, mahasiswa sbagai pembahasan dalam  mata perkuliahan, ataupun bagi masyarakat umum.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah kami di masa yang akan datang .


Penyusun.



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR........................................................................................................      i
DAFTAR ISI .....................................................................................................................      ii
BAB I      :      PENDAHULUAN......................................................................................      1
BAB II    :      PEMBAHASAN.........................................................................................      3
A.    Pengertian tayamum..............................................................................      3
B.     Sebab-sebab diperbolehkannya tayamum..............................................      4
C.     Srarat-syarat tayamum...........................................................................      5
D.    Rukun-rukun tayamum..........................................................................      6
E.     Sunat-sunat tayamum............................................................................      7
F.      Batalnya tayamum.................................................................................      7
G.    Beberapa masalah yang bersangkutan dengan tayamum.......................      8
BAB III   :      PENUTUP...................................................................................................    11
A.    Kesimpulan............................................................................................    11
B.     Saran......................................................................................................    11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................    13




BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dalam setiap dimensi kehidupan manusia, hidup bersih sudah merupakan kebutuhan hidup. Apalagi bagi umat islam yang memang ada syari’at yang mewajibkan umatnya untuk hidup bersih. Lebih dari itu, kaum muslimin diperintahkan untuk mensucikan raganya dari hadats besar dan kecil pada saat-saat tertentu, terutama ketika mereka hendak menghadap Rabbnya dalam shalat. Yang dalam istilah fiqihnya disebut “Thaharah (bersuci)”.

Ketika kita tidak bisa bersuci dari hadats dengan berwudhu atau mandi karena sebab/keadaan darurat, maka kita masih dapat  untuk menghilangkan hadats dengan cara tayamum. Tayamum ini adalah bentuk kecintaan Allah kepada umat Islam dengan memberikan keringanan (rukhsah) dalam beribadah menurut kemampuan masing-masing.

Semua rukhsah itu tidak bisa dilakukan jika kita tidak mengetahui syarat, rukun dan tata caranya. Untuk itu kami susun makalah ini yang memuat didalamnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan thaharah dalam keadaan darurat, dalam hal ini tayamum.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian tayaamum ?
2.      Apa sebab-sebab sehingga diperbolehkannya tayamum?
3.      Apa syarat-syarat tayamum ?
4.      Apa saja rukun / fardu tayamum?
5.      Apa sunat-sunat dalam tayamum ?
6.      Apa hal-hal yang membatalkan tayamum ?
7.      Apa saja masalah yang bersangkutan dengan tayamum ?
 
C.     Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui apa pengertian dari tayamum.
2.      Untuk mengetahui apa saja sebab-sebab sehingga diperbolehkannya tayamum.
3.      Untuk mengetahui syarat-syarat tayamum.
4.      Untuk mengetahui rukun-rukun / fardu-fardu tayamum.
5.      Untuk mengetahui sunat-sunat tayamum.
6.      Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan tayamum.
7.      Untuk mengetahui beberapa masalah yang sering kita jumpai yang bersangkutan dengan tayamum.




BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tayamum
Pengertian Tayamum secara lughat (etimologi) yaitu “menyengaja”, sedangkan secara sraya’ (terminologi) yaitu “Mendatanakan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan sampai sikut dengan syarat dan rukun tertentu”[1].
 Tayamum diperbolehkan pada tahun ke-6 Hijriyah, sebagai keringanan (rukshah) yang diberikan kepada umat Isalam. Tayamum merupakan pengganti dari thaharah, ketika seseorang tidak dapat mandi atau wudhu[2]. Salah satu ayat  yang sering dijadikan dasar untuk bertayamum adalah dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 6, yang berbunyi :
اِذَا قُمۡتُمۡ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغۡسِلُوۡا وُجُوۡهَكُمۡ وَاَيۡدِيَكُمۡ اِلَى الۡمَرَافِقِ وَامۡسَحُوۡا بِرُءُوۡسِكُمۡ وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ‌ ؕ وَاِنۡ كُنۡتُمۡ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوۡا‌ ؕ وَاِنۡ كُنۡتُمۡ مَّرۡضَىٰۤ اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ اَوۡ جَآءَ اَحَدٌ مِّنۡكُمۡ مِّنَ الۡغَآٮِٕطِ اَوۡ لٰمَسۡتُمُ النِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُوۡا مَآءً فَتَيَمَّمُوۡا صَعِيۡدًا طَيِّبًا فَامۡسَحُوۡا بِوُجُوۡهِكُمۡ وَاَيۡدِيۡكُمۡ مِّنۡهُ‌ (المئدة : ٦)
            Artinya :
“Jika kamu hendak melakukan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku. Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai ke mata kaki. Dan kalau kamu junub (wajib mandi) bersihkanlah dirimu (mandilah). Dan kalau kamu sedang sakit atau sedang bepergian atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau bersetubuh dengan perempuan, lalu kamu tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), kemudian sapulah wajah dan tangan kamu dengan tanah tersebut”
 (QS. Al-maidah : 6)
Dan salah satu hadits Nabi yang berbunyi :
قَال النَّبِىّ صَلَى اللّٙٓه عَلَٻْهِ وسَلَّمْ جعلت لناالٲرض كلها مسجدا وتربتها طهورا (رواه مسلم)
Artinya :
            “Bumi dijadikan untuk-Ku sebagai mesjid dan debunya dapat mensucikan”.
            (HR.Muslim)                                         
            Dari Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 tersebut telah jelas bahwa tayamum merupakan pengganti wudhu atau mandi ketika seseorang dalam keadaan udzur, baik seperti sedang sakit, sedang dalam perjalanan jauh ataupun tidak adanya air ketika hendak berwudhu atau mandi.
 Dalam hal ini tayamum berkedudukan hanya sebagai pengganti wudhu, oleh karenanya tayamum tidak bisa dikiaskan dengan wudhu, sebab tayamum itu adalah bersuci dalam keadaan darurat. Jika dimungkinkan masih bisa melaksanakan wudhu maka tidak diperbolehkan untuk bertayamum.

B.     Sebab-sebab diperboloehkannya tayamum
Ada beberapa sebab yang mengakibatkan seseorang diperbolehkan untuk bertayamum, diantaranya :
1.       Tidak adanya air
Hal ini bisa disebabkan karena sudah diusahakan untuk mencari air tetapi tidak mendapatkan air, sedangkan waktu shalat sudah masuk atau karena sedang dalam perjalanan (musafir). Ada beberapa kriteria musafir yang diperbolehkan bertayamum, yaitu sebagai berikut :
a.       Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air, maka ia boleh langsung bertayamum tanpa harus mencari air terlebih dahulu.
b.      Ia tidak yakin, ia menduga disana mungkin ada air, tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan yang demikian, ia wajib lebih dulu mencari air di tempat-tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c.       Ia yakin ada air disekitar tempat itu. Akan tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan tayamum.
2.      Adanya udzur
Adanya udzur seperti sakit, yang menurut prediksi dokter akan bertambah parah akan bertambah parah atau semakin lama sembuhnya bila terkena air.

3.     Ada perbedaan pendapat tentang sebab tayamum yang ke-3 ini, Imam Hanafi berpendapat hanya ada dua yg disebutkan diatas yg merupakan sebab diperbolehkannya tayamum, menurut Imam Syafi’i sebab ke-3 adalah adanya air sedikit tetapi untuk minum hewan yang dimulyakan oleh syara’, menurut Imam Malik adanya air sedikit tetapi untuk minum hewan sekalipun anjing, dan menurut Imam Hambali sebab yang ke-3 adalah mancari air setelah waktunya shalat tetapi tidak menemukan air.

C.     Syarat-syarat tayamum
Tayamum dibenarkan apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Dengan tanah yang suci dan berdebu.

Menurut pendapat Imam Syafi’i, tidak sah tayamum selain dengan tanah. Menurut pendapat imam yang lain, boleh (sah) tayamum dengan tanah, pasir atau batu. Dalil pendapat yang kedua ini adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW. :
جُعِلَتْ لِى الْاَرْضُ طَيِّبَةً وَ طَهُوْرًاوَ مَسْجِدًا
                 Artinya :
                 “Telah dijadikan bagiku bumi yang baik, menyucikan, dan tempat sujud”[3]
                  Perkataan “bumi” termasuk juga tanah, pasir dan batu.

Yang dimaksud dengan tanah (debu) yang suci disini adalah tanah murni (khalis) yang tidak bercampur dengan barang selainnya (seperti tepung dan sebangsanya), dan bukan pula tanah yang musta’mal (yang sudah terpakai untuk thaharah).
2.      Sudah masuk waktu shalat.
Tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa. Sebelum masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu.
3.      Menghilangkan najis.
Menurut sebagian ulama, sebelum melakukan tayamum hendaklah ia membersihkan diri terlebih dahulu dari najis, tetapi menurut pendapat yang lain ada juga yang mengatakan tidak usah.

D.     Rukun- rukun tayamum

1.      Niat
Imam Hanafi mewajibkan niat didalam tayamum karena ‘ainutturob (dzatiyah debu) tidak dapat mensucikan, sehingga butuh penguat yaitu niat. Bedahalnya dengan air, Karena menurut  Imam Hanafi, bersuci dengan air tidak perlu niat. Imam Hanafi memperbolehkan tayamum dengan niat menghilangkan hadats, karena tayamum merupakan pengganti wudhu atau mandi, maka menurut Imam Hanafi satu kali tayamum boleh untuk melakukan beberapa kali shalat fardu.
Sedangkan Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sependapat bahwa satu kali tayamum hanya dapat digunakan untuk satu kali shalat fardu dan tidak boleh di niati rof’ul hadats (menghilagkan hadats) tetapi istibahatish shalat (diperbolehkan melakukan sholat).
2.      Mengusap wajah dengan dengan debu
3.      Mengusap kedua tangan.
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengusap kedua tangan sampaisiku-siku, sedangkan menurut Imam Maliki dan Imam Hambali cukup dengan mengusap tangan hingga pergelangan tangan saja.
4.      Menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali hanya ada 3 rukun-rukun tayamum yang disebutkan diatas. Menurut Imam Maliki rukun tayamum yang ke-4 adalah Mualah (terus menerus tanpa ada pemisah lama) antara mengusap anggota satu dengan yang lain, dan antara tayamum dengan shalat merupakan rukun tayamum. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rukun tayamum yang ke-4 adalah tartib (mendahulukan anggota yang seharusnya diawal dan mengakhirkan anggota yang seharusnya terakhir).

E.     Sunat-suunat tayamum

1.      Membaca basmallah. Dalilnya adalah hadits sunat wudhu, karena tayamum merupakan pengganti wudhu.
2.      Mengepikan debu dari telapak tangan supaya debu yang berada di telapak tangan menjadi tipis.
4.      Merenggangkan jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah.
5.      Menyela-nyela jari setelah menyapu kedua tangan
6.      Dilakukan dengan tertib
7.      Membaca dua kalimat syahadat sesudah tayamum, sebagaiman sesudah selesai berwudhu

F.      Batalnya tayamum

1.      Semua hal yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum.
2.      Adanya air.
Apabila seseorang bertayamum karena tidak ada air dan bukan karena sakit atau luka, lalu ia mendapatkan air sebelum ia melaksanakan shalat maka tayamumnya itu batal. Oleh karena itu ada beberapa ketentuan bagi orang yang bertayamum tetapi kemudian menemukan air, adalah sebagai berikut :
a.       Jika menemukan air setelah shalat selesai, maka tidak wajib baginya untuk mengulangi shalatnya, meskipun waktu shalat itu masih ada. Sebagaimana diteranggkan dalam hadits berikut yang artinya :
Dua orang laki-laki melakukan  suatu perjalanan dan datanglah waktu shalat, sedangkan mereka tidak mendapakan air. Maka keduanya bertayamum dengan tanah yang suci, lalu melaksanakan shalat. Kemudian diantara mereka menemukan air, maka seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya, kemudian mereka menghadap Nabi SAW dan menceritakan peristiwa itu. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada orang yang tidak mengulanginya, “ Engkau telah sesuai sunnah dan memperoleh pahala dari shalatmu.” Kepada orang yang berwudhu lagi mengulangi  shalatnya, “Bagimu pahala dua kali.”[4]
b.      Jika orang yang bertayamum bukan karena sakit,lalu menemukan air sebelum ia melaksanakan shalat, maka tayamumnya itu batal dan ia harus berwuudhu.
c.       Apabila orang yang bertayamum karena junub, lalu ia menemukan air setelah shalat, maka ia tidak wajib mengulangi wudhu melainkan harus mandi. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi SAW berikut yang artinya :
Rasulullah SAW melakukan shalat bersama oorang-orang. Ketika beliau berpaling dari shalatnya, ada seorang laki-laki yang memisahkan diri dan tidak ikut shalat. Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak ikut shalat bersama orang-orang?” Dia menjawab : “ Saya sedng junub dan tidak saya dapati air.” Maka beliau bersabda : “Pakailah tanah, itu cukup bagimu.” Selanjutknya diceritakan oleh Imran setelah mereka memperoleh air, maka Rasulullah SAW memberikan setimba air kepadanya seraya bersabda : ”Pergilah dan kucurkanlah ke tubuhmu (mandilah)”[5].
3.      Murtad.

G.    Beberapa masalah yang bersangkutan dengan tayamum

1.      Tayamumnya orang yang memakai perban
Menurut Syaikh Abu Syujak :”Orang yang mempunyai jabiirah, yakni perban pada anggota wudhunya, cukup mengusap perbannya itu dan dan bertayamum kemudian shalat. Dan tidak wajib mengulangi, juga waktu meletakan perban itu dia dalam keadaan suci.
Orang yang mengalami patah tulang atau sekedar bergeser tulangnya kadang-kadang memerlukan perban (jabiirah) dan kadang-kadang tidak memerlukan. Jika memang pemakaian perban itu diperlukan, karena khawatir mempenggaruhi kesehatan badannya atau anggota badannya maka orang tersebut boleh memakai perban.
Kemudian lihat situasi dan kondisi. Jika pada waktu bersuci dia boleh melepaskan perban itu tanpa menimbulkan bahaya, maka ia wajib melepaskan perban itu. Jika tidak, harus mengusap perban itu dengan tanah/debu, jika perban itu terletak pada anggota tayamum.
Jika perban itu tidak boleh dilepaskan, karena jika dilepaskan akan bahaya seperti dikhawatirkan hilangnya nyawa, atau hilangnya anggota tubuh atau manfaat dari anggota tubuh itu, atau khawatir timbul cacat yang buruk pada anggota yang kelihatan, maka orang itu tidak diharuskan melepaskan perban itu. Tetapi ada beberapa hal yang wajib ia kerjakan antara lain :
a.       Wajib membasuh anggota yang sehat menurut madzhab yang kuat.
b.      Wajib membasuh apa saja yang dapat dibasuh, termasuk kulit-kulit yang beradadi bawah pinggiran perban, dengan meletakan kain yang telah dibasahi atau dengan memeras kain itu untuk membasuh tempat-tempat yang dapat dibasuh.
c.       Wajib mengusap perban itu dengan air. Usapan itu untuk anggota yang sehat dan tertutup oleh perban. Dan wajib mengusap seluruh perban itu menurut Qaul dan Shahih.
d.      Wajib tayamum selain mengusap perban. Inilah menurut Qaul dan Masyhur.

Kemudian seperti apa yang telah dikemukakan diatas, mengenai wajibnya membasuh anggota yang sehatdan mengusap perban serta wajib tayamum, itu dapat dianggap cukup setelah nmemenuhi dua syarat :
a.       Anggota sehat yang tertutup oleh perban harus anggota yang tidak dapat ditinggalkan untuk mengikat perban.
b.      Meletakan perban harus dalam keadaan suci. Jika tidak, wajib mencopot dan mengulangi memakainya dalam keadaan suci jika boleh. Jika  tidak boleh, perban itu dibiarakan dan wajib mengqadha shalat apabila sudah sembuh.
2.      Bertayamum Dengan Dinding
Tanah yang baik yang dapat dipergunakan untuk tayamum adalah debu yang suci, jika disekitar tempat tayamum itu tidak ditemukan debu, maka boleh bertayamum dengan menggunakan dinding. Dengan catatan dinding itu berdebu dan dindingnya tidak kotor sehingga tidah mencampuri kesucian debunya.
 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia berkata; Saya datang bersama dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah Al-Anshari maka Abu Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya. Baru setelah itu beliau mau menjawab salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa bertayamum dengan mengusap dinding diperbolehkan)




BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun beberapa hal yang kami dapat simpulkan dari penyusunan makalah ini adalah sbb :
1.      Tayamum menurut bahasa (etimologi) yaitu “menyengaja”, sedangkan  menurut istilah (terminologi) yaitu “Menyampaikan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan sampai sikut dengan syarat dan rukun tertentu”.
2.      Tayamum merupakan pengganti dari thaharah, ketika seseorang tidak dapat mandi atau wudhu karena sedang dalam keadaan udzur, baik seperti sedang sakit, sedang dalam perjalanan jauh ataupun tidak adanya air ketika hendak berwudhu atau mandi, atau adanya air sedikit tetapi air itu dipakai untuk minum hewan sekalipun anjing.
3.      Tayamum diperbolehkan apabila terpenuhi syarat-syarat seperti harus menggunakan tanah yang suci dan berdebu, sudah masuk waktu shalat danmenghilangkan najis
4.      Rukun tayamum adahal : niat, mengusap wajah dengan dengan debu, mengusap kedua tangan, dan tertib.
5.      Hal yang membatalkan tayamum adalah : semua hal yang menbatalkan wudhu, adanya air (bagi orang yang bertayamum karena tidak adanya air) dan murtad.

B.     Saran
Allah SWT telah memberikan banyak keringanan (rukshah) dalam hal ini tayamum, yang diberikan kepada umat Isalam dalam menjalankan ibadahnya sesuai kemampuan masing-masing. Namum kita sebagai umat Islam jangan hanya berpatokan kepada sumua keringanan yang diberi, sehingga kita lalai dan meremehkan ibadah yang seharusnya kita jalankan.
Dengan banyaknya keringanan-keringan dalam beribadah yang kita peroleh, maka tidak ada alasan lagi bagi kita umat Islam untuk melalaikan ibadah kita sehingga kita tidak menjalankannya.
            Walaupun dengan banyaknya perbedaan dalam penetapan hukum Islam dalam beribadah di kalangan madzhab dan alim ulama, semua itu kembali lagi kepada faham mana yang lebih kita yakini. Sehingga tidak dibenarkan mendiskriminasi golongan yang tidak sefaham dengan kita. Karena walaupun banyak perbedaan pendapat, tetapi tetap ada dalil yang kuat yang dijadikan alasan atau sandaran didalam penetapan hukum-hukum Islam tersebut.





DAFTAR PUSTAKA


  •  Fuad, Muhammad. 2007. FIQIH Wanita Lengkap. Jombang: Lintas Media.
  • Hidayat. 2009. Thaharah dan Shalah bagi Musafir. . Bandung: IMTIHA
  • Hidayat. 2009. Thaharah dan Shalah bagi Musafir. . Bandung: IMTIHA
  • Mannan, Abdul. 2007. FIQIH Lintas Madzhab. Kediri: PP Al falah.
  • Rasjid, H. Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Cet.ke-55. Bandung: Sinar Baru
  • http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bersuci-dengan-debu.html


[1] Abdul Mannan : Fiqih Lintas madzhab, h. 53
[2] Hidayat : Thaharah dan Shalat Bagi Orang Sakit, h. 16
[3] Mutafaqu A’laih
[4] H.R Nasa’i dan Abu Daud
[5] HR Bukhari dan Imran