‘AM DAN KHAS
AMR DAN NAHY
Ushul
Fiqh I
Dosen Pembimbing
: KH. Hasan Anshori, MA
Oleh
:
1. Juandi
2. Raffi Jabbar
Qorib
3. Tuti Rosita
Program
Strata 1 JurusanTarbiyah
Pendidikan
Agama Islam
Semester
2
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM AL-KARIMIYAH (STAISKA)
Jl.
Haji Maksum No. 23 Sawangan Baru - Depok
Tahun 2014
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW beserta keluarganya, para shahabatnya,
serta kita semua para penganut ajarannya hingga akhir zaman.
Disamping itu juga,
dalam pembuatan makalah ini penyusun tak lup amenyampaikan banyak terima kasih kepada :
- KH. Hasan Anshori, MAselaku dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh I
- Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penyusunan makalah ini.
Makalahini
kami susun sebagai salah satu kewajiban kami sebagai mahasiswa/i Semester 2 di
SekolahTinggi Agama Islam Al Karimiyah Depok jurusan tarbiyah dalam mata kuliah Ushul
Fiqh I. Makalah ini menjelaskan mengenai metode
Istinbat dari segi bahasa (‘Am dan Khas, Amr dan Nahy).
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya,
baik itu dosen pembimbing, mahasiswa, maupun bagi masyarakat umum. Dengan keterbatasan waktu, referensi,
dan kemampuan, kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah
kami di masa yang akan datang .
Depok,
November 2014
Penyusun.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR
ISI............................................................................................. ii
BAB
I : PENDAHULUAN............................................................. 1
A. Latar
Belakang............................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................ 1
C. Tujuan
Masalah............................................................ 1
BAB
II : PEMBAHASAN................................................................ 2
A. Lafal
Umum (‘Am) dan Lafal Khusus (Khas)............. 2
1. Lafal
Umum (‘Am)................................................. 2
a. Pengertian Lafal ‘Am...................................... 2
b. Bentuk-bentuk yang Menunjukan Umum....... 2
c. Pembagian Lafal Umum................................. 4
2. Lafal
Khusus (Khas)................................................ 5
a. Pengertian Lafal Khas..................................... 5
b. Pembagian Mukhasis....................................... 6
B. Amr (Perintah) dan Nahy (Larangan).......................... 7
1. Amr (Perintah)........................................................ 7
a. Pengertian Amr................................................ 7
b. Bentuk-bentuk yang Menunjukan Lafal Amr.. 7
c. Hukum yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Amr....... 8
d. Kaidah yang Berhubungan dengan Amr.......... 9
2. Nahy (Larangan)..................................................... 10
a. Pengertian Nahy................................................ 10
b. Bentuk-bentuk
yang Menunjukan Lafal Nahy.. 10
c. Hukum yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Nahy........ 11
d. Kaidah yang Berhubungan dengan Nahy.......... 11
BAB
III : PENUTUP.......................................................................... 12
A. Kesimpulan................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Objek utama yang akan dibahas dalam
Ushul Fiqh adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua
sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam
“Semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran Fiqh. Ayat-ayat Al-Quran
dalam menunjukan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas, ada
yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud hukumnya.
Disamping itu di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan
yang lain ynag memerlukan penyelesaian. Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara
dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah.Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menarik
hukum dari Al-Quran dan Sunnah yaitu dengan metode istinbat. Berikut ini kami
akan memaparkan beberapa metode istinbat dari segi bahasa (‘Am dan khas, dan
Amr dan Nahy)
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian, bentuk-bentuk, dan
pembagian lafal ‘Am ?
2. Apa pengertian Khas, dan pembagian
Mukhasis ?
3. Apa pengertian, bentuk-bentuk,
hukum, dan kaidah tentang Amr ?
4. Apa pengertian, bentuk-bentuk,
hukum, dan kaidah tentang Nahy ?
C. Tujuan
Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, dan pembagian lafal ‘Am
2. Untuk mengetahui pengertian Khas,
dan pembagian Mukhasis
3. Untuk mengetahui pengertian,
bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Amr
4. Untuk mengetahui pengertian,
bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Nahy
BAB II
PEMBAHASAN
Metode
Istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin
Ali al-Fayyumi (w. 770 H) ahli Bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik
hukum dari Al-quran dan Sunnah dengan jalan Ijtihad.
Secara garis besar, metode istinbat dapat dibagi kepada 3 bagian,
yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang
bertentangan[1].
Berikut ini akan dijelaskan beberapa
metode istinbat dari segi bahasa :
A.
Lafal
Umum (‘Am) dan Lafal Khusus (Khas)
Menurut para ulama Ushul Fiqh
ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal
umum (‘am) dan lafal khusus (khas)
1. Lafal Umum (‘Am)
a. Pengertian Lafal ‘Am
Seperti disimpulkan Muhammad adib
Saleh, lafal umum ialah lafal yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri
tanpa dibatasi sengan jumlah tertentu[2].
b.
Bentuk-bentuk
yang Menunjukan Umum
1) Lafal-lafal
yang ma’nalafal
itu sendiri berarti umum, seperti lafal :kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar(artinya
seluruhnya).
a)
Kullun
“Tiap-tiap
(seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(QS.
Ali Imran: 185)
b)
Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu
apa-apa yang ada dibumisemuanya.”(QS.Al Baqarah : 29)
c)
Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan
kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ :
28)
d)
Ma’syar
“Hai sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak pernah datang
kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu
ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari
(kiamat) ini?”(QS. Al-An’am : 131)
2) Isim syarat, seperti man (barang
siapa), ma (apa saja), aina (dimana saja), dan Ayyun (mana saja)
a) Man (barang siapa)
Barang siapa mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ :
123)
b) Ma (apa saja)
“Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup dan sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS.
Al-Baqarah : 272)
c) Aina
(dimana)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam
benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS An-Nisaa : 78)
d) Ayyun (mana saja),ayyuma (siapa saja)
“Siapa saja perempuan
yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram baginya
harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)
3) Isim Istifham, yaitu lafal nama yang berarti
bertanaya. Seperti lafal man (siapa), ma (apa),
aina (dimana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan).
a) Man (siapa)
“Siapakah
yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah
: 245)
b) Ma (apa)
“Apa
sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir: 42)
c) Ayyun (siapakah)
“Siapakah
diantara kamu yang bisa membawa singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku
sebelum mereka datang berserah diri.” (QS. An-Naml : 38)
d) Mata (kapan)
“Kapan
datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat
dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)
e) Aina (dimana)
“Dimanakah
tempat tinggalmu?”
“….Dan tidak ada dosa
atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya …..” (QS.
Al-Mumtahanah : 10)
5)
Isim Mausul (kata penghubung),seperti
kata Alladzi, Alladzina, Allati, Allaati:
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perut mereka..“ (QS. Annisa : 10)
6)
Kata jama’ yang disertai alif-lam
diawalnya, seperti kata al-walidat (para ibu) :
“Para ibu
(hendaklah) menyusukan anknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang
ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233)
7)
Kata benda tunggal yang di-ma’rifat-kan
dengan alif-lam, seperti kata al-insan(manusia) :
“Sesungguhnya manusia
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman” (QS Al-Ashr : 2)
c.
Pembagian
Lafal Umum
Lafal umum seperti dijelaskan
Mustafa Sa’id al-Khin, guru besar Ushul Fiqh Universitas damaskus, dibagi
kepada 3 macam [5]:
1) Lafal umum yang
dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya
kemungkinan ada takhsis, misalnya :
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lahyang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang
nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Huud : 6)
Yang dimaksud
binatang melata disini adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa
kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata adalah Allah yang memberi
rezekinya.
2) Lafal umum pada
hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan
makna seperti itu, misalnya :
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan
tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai
diri rasul” (QS.
At Taubah :120)
Sepintas lalu difahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna
umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk
orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi
berperang. Namun yang diaksud ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi
hanyalah orang-orang yang mampu.
3) Lafal umum yang terbebas dari
indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau
sebagian cakupannya. Misalnya :
”Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”QS. Al-Baqarah:
228)
Lafal
umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak),
terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umumnya itu atau sebagian cakupanya. Dalam hal ini, menurut jumhur ulama Ushul
Fiqh, seperti yang dikemukakan Muhammad Adib Shaleh, kaidah ushul fiqh yang
berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pen-takhsis-annya, ayat itu harus
diterapkan pada semua satuan cakupannya secara umum.
2.
Lafal
Khusus (Khas)
a. Pengertian Lafal Khas
Khas adalah isim
fail yang berasal dari kata kerja : خَصَّصَ –
يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ
“ yang mengkhususkan atau menentukan “ [6]
Seperti dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara
tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti
yang disebutkan Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya
bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.[7]
Contoh
lafal khas adalah ayat 89 surat al-Maidah yang artinya:
“Maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka”
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya
untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh
itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah
dipahani setiap lafal khas dalam al-Qur’an selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada pengertian lain.
Adapun yang
dimaksudkan dengan takhsish dalam
istilah ushul fiqh adalah :
“Mengeluarkan sebagian
apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat
mukhasis[8].”
b.
Pembagian
Mukhasis
Mukhasis ada dua bentuk, yaitu mukhasis yang
bersambung dan yang terpisah :
1) Mukhasis muttasil
(mukhasis yang bersambung), yaitu apabila suatu mukhasis bergantung pada
kalimat umum sebelumnya. Mukhasis muttasil terbagi atas beberapa macam :
a) Al-istisna
(pengecualian)
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan menegerjakan amal shaleh”
(QS. Al Ashr : 2-3)
(QS. Al Ashr : 2-3)
b) Syarat
“...dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah ….” (QS. Al-Baqarah : 228)
c) Sifat
“… Dan barang
siapa membunuh orang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba… “ (QS. An Nisa :42)
d) Kesudahan
“ …..Dan
janganlah kamu mndekati mereka, sampai
mereka suci …”
(QS. Al Baqarah : 222)
e) Sebagian
ganti keseluruhan
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah
… (QS. Al Imran : 97)
2) Mukhasis munfasil
(mukhasis yang terpisah), yaitu antara lafal umum dan muhkasis berdiri sendiri,
yakni tidak berkumpul tetapi terpisah. Mukhasis munfasil terbagi atas beberapa
macam :
a) Kitab
ditaksis dengan kitab
b) Kitab
ditaksis dengan sunnah
c) Sunnah
ditaksis dengan kitab
d) Sunnah
ditaksis dengan sunnah
e) Mentaksis
dengan Qiyas[9]
B. Amr (Perintah) dan Nahy (Larangan)
1. Amr (Perintah)
a. Pengertian Amr
Amr
menurut
bahasa artinya perintah, suruhan, tuntutan. Menurut istilah ushul fiqh yaitu :
“suatu tuntutan (perintah) untuk
melaksanakn sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang
lebih rendah tingkatannya”
Sebagai contoh, seorang ayah
memerintahkan anaknya untuk belajar. Dalam hal ini, yang memerintahkan ialah
ayah yang kedudukannya lebih tinggi dari pada anak.
Dalam ushul fiqh sendiri yang
dimaksud lebih tinggi adalah Allah dan rasul-Nya (Al-Quran dan Hadits),
sedangkan yang lebih rendah adalah manusia mukalaf[10]
b.
Bentuk-bentuk
yang Menunjukan Lafal Amr
Menurut Khudari Bik di
dalam TarikhTasyri disampaikan beberapa bentuk Amr antara lain :
1)
Melalui lafadz amara
dan seakan dengannya yang mengandung perintah (suruhan).
2)
Menggunakan lafadz kutiba
atau diwajibkan.
3)
Perintah dengan
menggunakan redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah) namun yang dimaksud adalah
perintah.
4)
Perintah yang
menggunakan kata kerja perintah secara langsung.
6)
Perintah
dengan menggunakan kata faradha
(mewajibkan)
7)
Perintah
dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik
8)
Perintah disertai janji
kebaikan yang banyak bagi pelakuknya.
c.
Hukum
yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Amr
Suatu bentuk perintah, seperti
dikemukakn oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar UshulFiqhUniversitas Damaskus, bisa
digunakan untuk berbagai pengertian[13],
antara lain :
1)
Menunjukkan hukum
wajib, seperti perintah shalat.
“Dan dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat.”(QS. Al baqarah : 110)
2)
Menjelaskan bahwa
sesuatau itu Mubah(boleh) hukumnya.
“Hai rasul-rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh”(QS. Al-Mukminun : 51)
3)
Untuk menunjukkan
anjuran.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
(QS. Al-Baqarah : 282)
(QS. Al-Baqarah : 282)
4)
Untuk melemahkan.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran
yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”(QS. Al Baqarah : 23)
5) Sebagai ejekan dan penghinaan. Misalnya firman Allah yang berkenaan dengan orang
yang ditimpa siksaan diakhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka.
“Rasakanlah!
Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi mulia”
(QS. Al-Dukhan : 49)
(QS. Al-Dukhan : 49)
d. Kaidah yang Berhubungan dengan Amr
Apabila dalam nash (teks) syara’
terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin
bisa diberlakukan[14]
:
1) الأصل فى الأمر للوجوب, (pada asalnya (setiap) perintah itu menunjukan hukum wajib) meskipun
suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu
perintah menunjkkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau
dalil yang memalingkannya.
2) الأصل فى الأمرلايقتضي التّكرار, (pada asalnya perintah itu tidak menunjukan berulang-ulang) Menurut
jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus
berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.
Menurut
sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Saleh, suatu
perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup,
kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu kali[15].
3) الأصل فى الأمرلايقتضيالفور, (pada dasarnya perintah itu tidak menunjukan segera) Pada dasarnya
suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil
lain yang menunjukkan untuk itu, karena makna suatu perintah adalah adanya
pelaksanaan, tanpa terikat pada waktu atau masa tertentu. Kaidah ini dipegangi
oleh ulama Hanafi dan Syafi’i.
Menurut
sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti dinukil
Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera
dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal
waktunya, maka ia berdosa.
4) الامربالشّيءامربوساءله, (perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah pula mengerjakan
wasilah-wasilahnya) maksudnya, bila ada suatu perintah maka segala kegiatan
yang menunjang terlaksananya perintah itu ikut dengan sendirinya diperintah
juga.
5) الامربالشّيءنهيعنضدّه,(perintah terhadap
sesuatu berarti larangan terhadap dhid-nya) maksudnya, bila ada perintah
untuk mengerjakan sesuatu maka dilarang mengerjakan selainnya.
6) Apabila telah dikerjakan suatu
perintah sesuai dengan jurusannya, berarti terlepaslah perintah itu dari ikatan
amr,
contohnya apabila kita telah bertayamun dan setelah shalat bertemu air, maka
tidak perlu meng-qadha lagi karena
dengan melakukan tayamum, berarti telah lepas dari ikatan perintah berwudu.
7) القضاءبامرجديد, (qadha itu
(harus) dengan perintah baru)
8) الامربعدالنّهي يفيدالاباحۃ, (suatu
perintah sesudah larangan memfaedahkan mubah) maksudnya, bila
ada suatu perintah sedang sebelumnya ada larangan tentang hal itu, maka hukum
sesuatu itu mubah.
2. Nahy (Larangan)
a. Pengertian Nahy
Nahy menurut bahasa artinya larangan atau yang terlarang,
sedang menurut istilah adalah “larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas hal
itu”
b.
Bentuk-bentuk
yang Menunjukan Lafal Nahy
Dalam melarang suatu
perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai
beragam gaya bahasa diantaranya:
1)
Larangan secara tegas
dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa
berarti melarang.
2)
Larangan dengan
menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
3)
Larangan dengan
menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan.
4)
Larangan dengan
menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau
mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan.
5)
Larangan dengan memakai
kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya.
6)
Larangan dengan cara mengancam
pelakunya dengan siksaan pedih.
7)
Larangan dengan
mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
8)
Larangan dengan cara
meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.
c.
Hukum
yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Nahy
1) Untuk
menunjukan hukum haram
“Janganlah kalian membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali
dengan hak.”
2) Sebagai
anjuran untuk meninggalkan
3) Penghinaan
“Hai
orang-orang kafir janganlah kamu
mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasam menurut
apa yang kamu kerjakan”
4) Larangan
“Janganlah
kalian memegang dzakar (kemaluan) dengan tangan kanan ketika buang air kecil”.
5) Untuk
menyatakan permohonan
“Ya Allah janganlah kamu tutup hatiku setelah
engkau memberi petunjuk padaku”.
d.
Kaidah
yang Berhubungan dengan Nahy
1) الأصل فى النهى للتحريم, (pada asalnya larangan itu menunjukkan hukum haram) melakukan
perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
2) النهي عن الشيئ أمر بضده,(larangan terhadap suatu perbuatan berarti
perintah terhadap kebalikannya)
3) Larangan
yang bersifat mutlak, menunjukan terus-menerus sepanjang masa
4) Larangan
itu adalah menunjukan rusaknya yang dilarang dalam bidang ibadah
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Bila dilihat dari segi cakupannya
ayat-ayat hukum dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)
·
Lafal umum ialah lafal yang diciptakan
untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi
sengan jumlah tertentu
·
Lafal khas adalah lafal yang mengandung
satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
·
Amr menurut bahasa artinya perintah,
suruhan, tuntutan. Menurut istilah ushul fiqh yaitu : “suatu tuntutan
(perintah) untuk melaksanakn sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya”
·
Nahy menurut bahasa artinya larangan
atau yang terlarang, sedang menurut istilah adalah “larangan melakukan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih
rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas hal itu”
DAFTAR PUSTAKA
- Effendi, Satria dan M.,Zein.Ushul Fiqih. 2005 (Jakarta: Kencana)
- Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqh (Satu dan Dua). cet. 2. 2014 (Jakarta : Kencana)
[1]
Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal, 177
[2]
Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal, 196
[3]Nakiroh adalah lafal yang belum tentu,
seperti baitun artinya rumah, ini
belum tentu rumah yang mana. Adapun kebalikannya disebut Ma’rifah , seperti al-baitu
artinya rumah yang itu.
[4]Nafi’ yaitu kalimat negatif, seperti
kalimat saya tidak kekantor jika turun
hujan, kalimat tidak kekantor ini disebut dengan nafi’
[5]
Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal. 198
[6]Ilmu Ushul Fiqih, Drs. H. A. Basiq
Djalil, S.H., M.A., hal. 87
[7]Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi,
M. Zein, M.A., hal. 205
[8]Mukhasis adalah dalil yang mengkhususkan suatu dalil
yang umum
[9]Qiyas yaitu menghubungkan (menyamakan
hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada
ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat
antara keduanya.
[10]Mukalaf ialah orang yang telah dikenai
atau diberati hukum
[11]Fiil mudhari adalah kata kerja yang
sedang atau yang akan dilakukan
[12]Lam amr yaitu huruf yang berarti
perintah
[13]Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi,
M. Zein, M.A., hal. 182
[14]Ilmu Ushul Fiqih, Drs. H. A. Basiq
Djalil, S.H., M.A., hal. 52
[15]Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi,
M. Zein, M.A., hal. 186
Casino Game For Sale by Hoyle - Filmfile Europe
BalasHapus› casino-games 깡 가입 코드 › casino-games 토토 사이트 해킹 › casino-games › casino-games Casino Game for sale by Hoyle air jordan 18 retro varsity red order on Filmfile Europe. Free 빌리버 shipping for most countries, no what is the best air jordan 18 retro yellow suede download required. Check the deals we have.