Senin, 16 Februari 2015

Makalah Ushul Fiqh I tentang ‘Am dan Khas Amr dan Nahy





‘AM DAN KHAS
AMR DAN NAHY

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ushul Fiqh I
Dosen Pembimbing : KH. Hasan Anshori, MA








Oleh :
1.      Juandi
2.      Raffi Jabbar Qorib
3.      Tuti Rosita

Program Strata 1 JurusanTarbiyah
Pendidikan Agama Islam
Semester 2

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-KARIMIYAH (STAISKA)
Jl. Haji Maksum No. 23 Sawangan Baru - Depok
Tahun 2014




KATA PENGANTAR 


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW  beserta keluarganya, para shahabatnya, serta kita semua para penganut ajarannya hingga akhir zaman. 

Disamping itu juga, dalam pembuatan makalah ini penyusun tak lup amenyampaikan banyak terima kasih kepada :
  1. KH. Hasan Anshori, MAselaku dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh I 
  2. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penyusunan makalah ini. 
Makalahini kami susun sebagai salah satu kewajiban kami sebagai mahasiswa/i Semester 2 di SekolahTinggi Agama Islam Al Karimiyah Depok jurusan tarbiyah dalam mata kuliah Ushul Fiqh I. Makalah ini menjelaskan mengenai metode Istinbat dari segi bahasa (‘Am dan Khas, Amr dan Nahy). 

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, baik itu dosen pembimbing, mahasiswa, maupun bagi masyarakat umum. Dengan keterbatasan waktu, referensi, dan kemampuan, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah kami di masa yang akan datang .
                                                                                                            Depok,    November 2014


                                                                                                            Penyusun.







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...............................................................................           i
DAFTAR ISI.............................................................................................          ii
BAB I      :      PENDAHULUAN.............................................................          1
A.    Latar Belakang.............................................................          1
B.     Rumusan Masalah........................................................          1
C.     Tujuan Masalah............................................................          1
BAB II    :      PEMBAHASAN................................................................          2
A.    Lafal Umum (‘Am) dan Lafal Khusus (Khas).............          2
1.      Lafal Umum (‘Am).................................................          2
a.       Pengertian Lafal ‘Am......................................          2
b.      Bentuk-bentuk yang Menunjukan Umum.......          2
c.       Pembagian Lafal Umum.................................          4
2.      Lafal Khusus (Khas)................................................          5
a.       Pengertian Lafal Khas.....................................          5
b.      Pembagian Mukhasis.......................................          6
B.     Amr (Perintah) dan Nahy (Larangan)..........................          7
1.      Amr (Perintah)........................................................          7
a.       Pengertian Amr................................................          7
b.      Bentuk-bentuk yang Menunjukan Lafal Amr..          7
c.       Hukum yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Amr.......          8
d.      Kaidah yang Berhubungan dengan Amr..........          9
2.      Nahy (Larangan).....................................................        10
a.       Pengertian Nahy................................................        10
b.      Bentuk-bentuk yang Menunjukan Lafal Nahy..        10
c.       Hukum yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Nahy........        11
d.      Kaidah yang Berhubungan dengan Nahy..........        11
BAB III   :      PENUTUP..........................................................................        12
A.    Kesimpulan...................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................        13





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Objek utama yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam “Semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran Fiqh. Ayat-ayat Al-Quran dalam menunjukan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud hukumnya. Disamping itu di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan yang lain ynag memerlukan penyelesaian. Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menarik hukum dari Al-Quran dan Sunnah yaitu dengan metode istinbat. Berikut ini kami akan memaparkan beberapa metode istinbat dari segi bahasa (‘Am dan khas, dan Amr dan Nahy)

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian, bentuk-bentuk, dan pembagian lafal ‘Am ?
2.      Apa pengertian Khas, dan pembagian Mukhasis ?
3.      Apa pengertian, bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Amr ?
4.      Apa pengertian, bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Nahy ?

C.    Tujuan Rumusan Masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, dan pembagian lafal ‘Am
2.      Untuk mengetahui pengertian Khas, dan pembagian Mukhasis
3.      Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Amr
4.      Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Nahy



BAB II
PEMBAHASAN
Metode Istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin Ali al-Fayyumi (w. 770 H) ahli Bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik hukum dari Al-quran dan Sunnah dengan jalan Ijtihad.
Secara garis besar, metode istinbat dapat dibagi kepada 3 bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan[1].
Berikut ini akan dijelaskan beberapa metode istinbat dari segi bahasa :
A.    Lafal Umum (‘Am) dan Lafal Khusus (Khas)
Menurut para ulama Ushul Fiqh ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)

1.      Lafal Umum (‘Am)               

a.      Pengertian Lafal ‘Am    
Seperti disimpulkan Muhammad adib Saleh, lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi sengan jumlah tertentu[2].
b.      Bentuk-bentuk yang Menunjukan Umum      
1)      Lafal-lafal yang ma’nalafal itu sendiri berarti umum, seperti lafal :kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar(artinya seluruhnya).
a)      Kullun
Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(QS. Ali Imran: 185)
b)      Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumisemuanya.”(QS.Al Baqarah : 29)
c)      Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ : 28)

d)      Ma’syar
“Hai sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak pernah datang kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari (kiamat) ini?”(QS. Al-An’am : 131)
2)      Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), aina (dimana saja), dan Ayyun (mana saja)
a)      Man (barang siapa)
Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ : 123)
b)      Ma (apa saja)
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS. Al-Baqarah : 272)
c)      Aina (dimana)
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS An-Nisaa : 78)
d)     Ayyun (mana saja),ayyuma (siapa saja)
Siapa saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram baginya harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)
3)      Isim Istifham, yaitu lafal nama yang berarti bertanaya. Seperti lafal man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan).
a)      Man (siapa)
Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah : 245)
b)      Ma (apa)
Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir: 42)
c)      Ayyun (siapakah)
Siapakah diantara kamu yang bisa membawa singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku sebelum mereka datang berserah diri.” (QS. An-Naml : 38)
d)     Mata (kapan)
Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)
e)      Aina (dimana)
Dimanakah tempat tinggalmu?”
4)      Isim Nakirah[3] yang terletak sesudah Nafi[4] :
….Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya …..” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
5)      Isim Mausul (kata penghubung),seperti kata Alladzi, Alladzina, Allati, Allaati:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut mereka..“ (QS. Annisa : 10)
6)      Kata jama’ yang disertai alif-lam diawalnya, seperti kata al-walidat (para ibu) :
Para ibu (hendaklah) menyusukan anknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233)
7)      Kata benda tunggal yang di-ma’rifat-kan dengan alif-lam, seperti kata al-insan(manusia) :
Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman” (QS Al-Ashr : 2)

c.       Pembagian Lafal Umum           
Lafal umum seperti dijelaskan Mustafa Sa’id al-Khin, guru besar Ushul Fiqh Universitas damaskus, dibagi kepada 3 macam [5]:
1)      Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis, misalnya :
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lahyang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Huud : 6)
Yang dimaksud binatang melata disini adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata adalah Allah yang memberi rezekinya.
2)      Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu, misalnya :
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul” (QS. At Taubah :120)
Sepintas lalu difahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang diaksud ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
3)      Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya. Misalnya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”QS. Al-Baqarah: 228)
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian cakupanya. Dalam hal ini, menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan Muhammad Adib Shaleh, kaidah ushul fiqh yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pen-takhsis-annya, ayat itu harus diterapkan pada semua satuan cakupannya secara umum.

2.      Lafal Khusus (Khas)                       

a.      Pengertian Lafal Khas  
Khas adalah isim fail yang berasal dari kata kerja : خَصَّصَ – يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ
 yang mengkhususkan atau menentukan[6]
Seperti dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.[7]
Contoh lafal khas adalah ayat 89 surat al-Maidah yang artinya:
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahani setiap lafal khas dalam al-Qur’an selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain.

Adapun yang dimaksudkan dengan takhsish dalam istilah ushul fiqh adalah :
Mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis[8].”

b.      Pembagian Mukhasis
Mukhasis ada dua bentuk, yaitu mukhasis yang bersambung dan yang terpisah :
1)      Mukhasis muttasil (mukhasis yang bersambung), yaitu apabila suatu mukhasis bergantung pada kalimat umum sebelumnya. Mukhasis muttasil terbagi atas beberapa macam :
a)      Al-istisna (pengecualian)
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan menegerjakan amal shaleh”
(QS. Al Ashr : 2-3)
b)      Syarat
...dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah ….”  (QS. Al-Baqarah : 228)
c)      Sifat
“… Dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba… “ (QS. An Nisa :42)
d)     Kesudahan
…..Dan janganlah kamu mndekati mereka, sampai mereka suci …”
(QS. Al Baqarah : 222)

e)      Sebagian ganti keseluruhan
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah … (QS. Al Imran : 97)
2)      Mukhasis munfasil (mukhasis yang terpisah), yaitu antara lafal umum dan muhkasis berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tetapi terpisah. Mukhasis munfasil terbagi atas beberapa macam :
a)      Kitab ditaksis dengan kitab
b)      Kitab ditaksis dengan sunnah
c)      Sunnah ditaksis dengan kitab
d)     Sunnah ditaksis dengan sunnah
e)      Mentaksis dengan Qiyas[9]


B.     Amr (Perintah) dan Nahy (Larangan)             

1.      Amr (Perintah)                     

a.      Pengertian Amr
Amr menurut bahasa artinya perintah, suruhan, tuntutan. Menurut istilah ushul fiqh yaitu : “suatu tuntutan (perintah) untuk melaksanakn sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya”
Sebagai contoh, seorang ayah memerintahkan anaknya untuk belajar. Dalam hal ini, yang memerintahkan ialah ayah yang kedudukannya lebih tinggi dari pada anak.
Dalam ushul fiqh sendiri yang dimaksud lebih tinggi adalah Allah dan rasul-Nya (Al-Quran dan Hadits), sedangkan yang lebih rendah adalah manusia mukalaf[10]

b.      Bentuk-bentuk yang Menunjukan Lafal Amr
Menurut Khudari Bik di dalam TarikhTasyri disampaikan beberapa bentuk Amr antara lain :
1)      Melalui lafadz amara dan seakan dengannya yang mengandung perintah (suruhan).
2)      Menggunakan lafadz kutiba atau diwajibkan.
3)      Perintah dengan menggunakan redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah) namun yang dimaksud adalah perintah.
4)      Perintah yang menggunakan kata kerja perintah secara langsung.
5)      Perintah dengan menggunakan fiil mudhari[11] yang disertai oleh lam amr[12]
6)      Perintah dengan menggunakan kata faradha (mewajibkan)
7)      Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik
8)      Perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakuknya.         

c.       Hukum yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Amr
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakn oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar UshulFiqhUniversitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian[13], antara lain :
1)      Menunjukkan hukum wajib, seperti perintah shalat.
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”(QS. Al baqarah : 110)
2)      Menjelaskan bahwa sesuatau itu Mubah(boleh) hukumnya.
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh”(QS. Al-Mukminun : 51)
3)      Untuk menunjukkan anjuran.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
(QS. Al-Baqarah : 282)
4)      Untuk melemahkan.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”(QS. Al Baqarah : 23)
5)      Sebagai ejekan dan penghinaan. Misalnya firman Allah yang berkenaan dengan orang yang ditimpa siksaan diakhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka.
Rasakanlah! Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi mulia
(QS. Al-Dukhan : 49)

d.      Kaidah yang Berhubungan dengan Amr
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan[14] :
1)      الأصل فى الأمر للوجوب, (pada asalnya (setiap) perintah itu menunjukan hukum wajib) meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjkkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
2)      الأصل فى الأمرلايقتضي التّكرار, (pada asalnya perintah itu tidak menunjukan berulang-ulang) Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Saleh, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu kali[15].
3)      الأصل فى الأمرلايقتضيالفور, (pada dasarnya perintah itu tidak menunjukan segera) Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena makna suatu perintah adalah adanya pelaksanaan, tanpa terikat pada waktu atau masa tertentu. Kaidah ini dipegangi oleh ulama Hanafi dan Syafi’i.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
4)      الامربالشّيءامربوساءله, (perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah pula mengerjakan wasilah-wasilahnya) maksudnya, bila ada suatu perintah maka segala kegiatan yang menunjang terlaksananya perintah itu ikut dengan sendirinya diperintah juga.
5)      الامربالشّيءنهيعنضدّه,(perintah terhadap sesuatu berarti larangan terhadap dhid-nya) maksudnya, bila ada perintah untuk mengerjakan sesuatu maka dilarang mengerjakan selainnya.
6)      Apabila telah dikerjakan suatu perintah sesuai dengan jurusannya, berarti terlepaslah perintah itu dari ikatan amr, contohnya apabila kita telah bertayamun dan setelah shalat bertemu air, maka tidak perlu meng-qadha lagi karena dengan melakukan tayamum, berarti telah lepas dari ikatan perintah berwudu.
7)      القضاءبامرجديد, (qadha itu (harus) dengan perintah baru)
8)      الامربعدالنّهي يفيدالاباحۃ, (suatu perintah sesudah larangan memfaedahkan mubah) maksudnya, bila ada suatu perintah sedang sebelumnya ada larangan tentang hal itu, maka hukum sesuatu itu mubah.


2.      Nahy (Larangan)     

a.      Pengertian Nahy            
Nahy menurut bahasa artinya larangan atau yang terlarang, sedang menurut istilah adalah “larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas hal itu”

b.      Bentuk-bentuk yang Menunjukan Lafal Nahy
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
1)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang.
2)      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
3)      Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan.
4)      Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan.
5)      Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya.
6)      Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
7)      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
8)      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.

                       
c.       Hukum yang Mungkin Ditunjukan oleh Bentuk Nahy
1)      Untuk menunjukan hukum haram
Janganlah kalian membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.”
2)      Sebagai anjuran untuk meninggalkan
3)      Penghinaan
Hai orang-orang kafir janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasam menurut apa yang kamu kerjakan”
4)      Larangan
Janganlah kalian memegang dzakar (kemaluan) dengan tangan kanan ketika buang air kecil”.
5)      Untuk menyatakan permohonan
“Ya Allah janganlah kamu tutup hatiku setelah engkau memberi petunjuk padaku”.

d.      Kaidah yang Berhubungan dengan Nahy                   
1)      الأصل فى النهى للتحريم, (pada asalnya larangan itu menunjukkan hukum haram) melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
2)      النهي عن الشيئ أمر بضده,(larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya)
3)      Larangan yang bersifat mutlak, menunjukan terus-menerus sepanjang masa
4)      Larangan itu adalah menunjukan rusaknya yang dilarang dalam bidang ibadah



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Bila dilihat dari segi cakupannya ayat-ayat hukum dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)
·         Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi sengan jumlah tertentu
·         Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
·         Amr menurut bahasa artinya perintah, suruhan, tuntutan. Menurut istilah ushul fiqh yaitu : “suatu tuntutan (perintah) untuk melaksanakn sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya”
·         Nahy menurut bahasa artinya larangan atau yang terlarang, sedang menurut istilah adalah “larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas hal itu”






DAFTAR PUSTAKA 

  • Effendi, Satria dan M.,Zein.Ushul Fiqih. 2005 (Jakarta: Kencana)
  • Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqh (Satu dan Dua). cet. 2. 2014 (Jakarta : Kencana)



[1] Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal, 177
[2] Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal, 196
[3]Nakiroh adalah lafal yang belum tentu, seperti baitun artinya rumah, ini belum tentu rumah yang mana. Adapun kebalikannya disebut Ma’rifah , seperti al-baitu artinya rumah yang itu.
[4]Nafi’ yaitu kalimat negatif, seperti kalimat saya tidak kekantor jika turun  hujan, kalimat tidak kekantor ini disebut dengan nafi’
[5] Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal. 198
[6]Ilmu Ushul Fiqih, Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., hal. 87
[7]Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal. 205
[8]Mukhasis  adalah dalil yang mengkhususkan suatu dalil yang umum
[9]Qiyas yaitu menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat  antara keduanya.
[10]Mukalaf ialah orang yang telah dikenai atau diberati hukum
[11]Fiil mudhari adalah kata kerja yang sedang atau yang akan dilakukan
[12]Lam amr yaitu huruf yang berarti perintah
[13]Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal. 182
[14]Ilmu Ushul Fiqih, Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., hal. 52
[15]Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., hal. 186
 




1 komentar:

  1. Casino Game For Sale by Hoyle - Filmfile Europe
    › casino-games 깡 가입 코드 › casino-games 토토 사이트 해킹 › casino-games › casino-games Casino Game for sale by Hoyle air jordan 18 retro varsity red order on Filmfile Europe. Free 빌리버 shipping for most countries, no what is the best air jordan 18 retro yellow suede download required. Check the deals we have.

    BalasHapus